LEGENDA DARI KAYUAGUNG

Sebagai Ibu kota Kabupaten Ogan Komering Ilir, kayuagung merupakan daerah yang sangat penting peranannya di kabupaten ini. Selain penduduk asli, ditempat ini bermukiman penduduk yang berasal dari berbagai daerah, tidak hanya dilingkungan Sumatra Selatan tapi juga dari luar propinsi. Masyarakat kayuagung Asli, menyimpan kisah yang sangat unik, sebagaimana yang dituturkan oleh berbagai sumber tradisional dan modern.

            Perkisahan dibawah ini, yang didasarkan pada beberapa sumber termasuk karya Dodoh Bihantarti Toponim Masyarakat Kayuagung, diterbitkan oleh Kandep Dikbud Ogan Komering Ilir, Noor Indones dan A Rahman pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan Tanah secara Tradisional Daerah Sumatra Selatan Dekdikbud SumSel. Perkisahan ini melukiskan proses pembentukan identitas masyarakat kayuagung.
Asal Usul
Penduduk dalam Marga kayuagung berasal dari dua keturunan  atau poyang. Keduanya,
yaitu keturunan yang berasal dari Abung Bungamayang dan dari Skala Berak yaitu Komering-Batak. Abung Bungamayang mula-mula menempati daerah di sekitar Sungai Hitam Lempuing, dengan leluhurnya bernama Mekodum Mutaralam. Sedangkan keturunan yang berasal dari Skala Berak mula-mula bertempat tinggal di Batu Hampar Kijang poyang yang bernama Raja Jungut.

            Menurut cerita tutur yang beredar di kalangan masyarakt setempat, Puyang Mekodum Mutaralam. Ini berasal dari Abung Bungamayang yaitu suku bangsa yang terdapat di kresidenan Lampung Utara yang bernama Siwo Mego di daerah Wai Kunang.

            Pada awalnya, orang Abung tinggal di Wai Kunang dengan maksud untuk mencari tempat tinggal di Komering, akan tetapi lantaran mereka terdesak dalam suatu peperangan, maka mengundurkan diri memasuki sungai Macak, keluar ke sungai Lempuing. Di daerah inilah kemudian orang Abung menetap.

           Tempat yang mula-mula diduduki orang Abung ialah Kotapandan di daerah Sungai Hitam yaitu anak sungai Lempuing. Komunitas itu dipimpin langsung oleh Mekodum Mutaralam. Setelah meninggal dunia, ia digantikan oleh puteranya yang bergelar Raden Sederajat. Ketika Raden Sederajat wafat ia digantikan oleh puteranya bernama Indera Bumi.

            Indera Bumi mempunyai dua putera laki-laki yaitu Setiaraja Diyah dan Setia Tanding. Tokoh yang namanya disebutkan pertama, yaitu Setiaraja Diyah yang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pimpinan orang Abung Bungamayang katika beliau wafat. Dalam memimpin, ia dibantu oleh jurutulis Setiabanding Sugih. Kedudukannya berada di kotapandan.
           
Pada masa kepemimpinan Setiaraja memimpin, maka ditetapkanlah adat istiadat kemasyarakatan oleh patih Gajahmada.Adat istiadat itu berisi peraturan tentang adat istiadat pedusunan, adat bujang gadis,dan masalah etika lainnya. Pada masa ini di ajarkan pula penulisan dengan menggunakan aksara Surat Rencong.
            Untuk mengatasi jumlah penduduk yang telah berkembang, pada masa kekuasaan Setiaraja Diyah Ini di lakukan pengembangan wilayah dengan membuka perkampungan sekaligus penempatan penduduk sekitar sungai lempuing, dengan nama Bulu Nawa. Ditempat baru ini diselenggarakan pula pemerintahan baru, yang masih berinduk pada kekuasaan lama yang berkedudukan dikota Pandan.

            Lambat laun, Bulu Nawa manjadi suatu tempat yang ramai dan maju. Kondisi ini mengundang kedatangan orang-orang yang berasal dari tempat-tempat yang jauh, termasuk orang-orang asing untuk mencari penghidupan. Bulu Nawa mulai di kenal sebagai tempat perdagangan. Karena telah menjadi sangat maju, sampai-sampai Setiaraja Diyah menggabungkan diri dengan negeri Bulu Nawa.

            Setiaraja Diyah menikahkan Putri nya si Rambut Putih dengan Ratu Aji. Tokoh yang di sebutkan terahir ini adalah memiliki kehebatan yang sangat tinggi sehingga di sebut sebagai dewa suku Milung yang pertama kali turun ke dunia. Menantu Setiaraja Diyah yang hebat ini menerima gelar Depati Jorang Angkatan dan ia menggantikan Setiaraja Diyah.

            Depati jorang Angkatan mempunyai anak bernama Depati punya Bumi. Anak inilah yang menggantikannya setelah ia mangkat. Depati punya Bumi selanjutnya di gantikan oleh Depati Lanang, yang setelah mangkat digantikan anaknya Depati Bungkuk.

            Akan halnya saudara Setiaraja Diyah, yaitu Setia Tanding telah berpindah tempat
Ke pematang Bidara. Dalam kedudukannya sebagai pimpinan di pematang Bidara, ia selanjutnya digantikan oleh putera nya yang dikenal dengan sebutan Setia Kujang. Setia Kujang merasa kurang cocok di Pematang Bidara sehingga selanjutnya berpindah lebih ke hilir sungai, di suatu tempat sebelah hilir Muara Burnai sekarang. Setelah mangkat, Setia Kujang digantikan oleh puteranya Setia Landai. Setia Landai berkedudukan di kota Besi, sementara depati Bungkuk tetap berkedudukan di Bulu Nawa.

            Malang tidak dapat di hindarkan, pada masa kekuasaan kedua tokoh ini kota Besi dan Bulu Nawa secara bersamaan di serang oleh banjir sehingga keduanya, bersamaan seluruh rakyat pindah ketempat lain yang lebih aman. Setia Landai mendapatkan tempat di Pematang Sudahutang yaitu di berada di hulu Pedamaran sekarang, dan di beri nama Perigi. Sementara Setia Bungkuk mendapatkan tempatnya di Tanjung Beringin di tepian Batanghari Mesuji.

            Pada waktu mengungsi lantaran banjir, Depati Bungkuk membawa seperangkat gamelan yang diberi nama Tale Seratus. Kini gamelan itu telah tidak ada lagi karena telah dijual oleh salah seorang diantara keturunannya, yaitu Depati Kemala Anom.

            Depati Bungkuk mempunyai dua orang anak yaitu Purbajaya, dan yang satu lagi Depati Punya Bumi Muda yang kemudian menggantikannya memimpin dalam komunitas di Tanjung Beringin itu. Pada masa kekuasaan Depati Punya Bumi, masyarakat Abung yang berada di Tanjung Beringin berpindah tempat kehilir Pematang Sudahutang yaitu Perigi.

            Akan tetapi karena Perigi telah dipimpin oleh Setia landai maka Depati Punya Bumi Muda berada di bawah kekuasaan Setia Landai. Setia Landai sendiri, setelah wafat digantikan oleh puteranya Depati Jana dan memindahkan masyarakatnya dari pematang Sudahutang ke suatu dusun yang baru diberi nama Perigi pula. Pemindahan itu merupakan hasil mufakat antara Depati Jana dengan tokoh yang berasal dari skala Berak yang berkedudukan di Batuampar, yaitu Tuan Pegaduh.

            Karena terjadi pernikahan antara Surapati, anak Depati Jana dengan puteri Tuan Pegaduh yang bernama Dayang Sekara, maka Tuan Pegaduh memindahkan masyarakat dusunnya dari Batuampar ke suatu tempat masih ditepi sungai Komering. Tempat ini di kembangkan menjadi suatu dusun yang ramai. Lantaran di dusun itu di beri nama Kayuagung.

            Setelah berdiri dusun perigi dan kayuagung, maka masyarakat di dusun Sudahutang banyak yang meninggalkan tempat kediamannya semula. Ada yang pindah dan menetap di hulu dusun Perigi dan diberi nama Kotaraya. Kotaraya di pimpin oleh Departi Punya Bumi Muda. Sebagian lagi, penduduk Sudahutang pindah ke suatu tempat di seberang kayuagung dan di beri Sukadana. Sukadana di pimpin oleh saudara Depati Punya Bumi Muda yang bergelar Purbajaya.

            Depati Punya Bumi Muda berganti gelar menjadi Depati Kemalaratu Anom. Tokoh yang akan memangku jabatan kepala dusun, hendak lah di pilih oleh orang-orang Abung Bungamayang yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja Diyah dan Setia Tanding.

            Selanjutnya, dusun Sukadana kemudian dimekarkan kepada dusun Jua-Jua dan dipimpin oleh Tuan Jimat. Begitulah, tempat ini terus berkembang mencapai sembilan sehinga disebut dengan Morge Siwe atau Sembilan Marga. Suhunan di Palembang merasa memerlukan seorang untuk membantunya mengatur kesembilan dusun itu. Untuk itu dipilihlah salah seorang di antara pimpinan kesembilan dusun itu. Tokoh yang dipilih adalah Depatiraja Ikutan Muda.

            Dari Sukadana. Dalam kedudukan tersebut, Depatiraja Ikutan Muda diberi seperangkat atribut kebesaran oleh Suhunan palembang berupa satu payung perada atau emas, dua keris, tiga bilah pedang, dua pucuk tombak bertopang perak, satu lampit ulung, satu kajang seremang dari kain hitam bermotif bunga prada, dan sebuah gong.

            Gong pemberian suhunan sebagai atribut kebesaran ini memiliki keunikan tersendiri yang legendaris. Diceritakan bahwa apabila seorang diantara keturunan Raja Ikutan Muda meninggal dunia maka gong itu bersuara dengan sendirinya.
            Depati Raja Ikutan Muda diganti oleh putera saudaranya Depati Mahmud dengan gelar Ingganta yaitu anak Depati Mulia Jaya. Pada masa ini daerah tersebut takluk pada pemerintahan kolonial Belanda. Sejak masa itu pula terjadi susunan pemerintahan.
           
Kisah di Balik Nama
Sampai saat pemerintahan marga dibubarkan, dilingkungan marga Kayuagung telah berkembang manjadi 19 dusun, yaitu Sukadana, Paku, Mangun Jaya, Sida Kersa, Jua-Jua, Kayuagung, Perigi, Kotaraya, Kedaton, Celikah, Kijang Ulu, Muara Burnai, Tanjungsari, Lubuk Seberuk, Rantau Durian, Sungai Belida, Secupak, Tebing Suluh, dan Cahya Bumi. (Dewasa ini, jumlah itu telah bertambah).

            Setiap nama dusun tersebut memiliki cerita tersendiri sebagai asal-usulnya, sebagaimana dipaparkan berikut.
            Sukadana, dinamakan Sukadana karena lebak dari dusun itu mengelilingi sebuah danau. Pada mulanya dusun ini bernama Suka Danau, tapi lama kelamaan berubah penuturannya menjadi Sukadana. Sementara itu dusun Paku, dinamakan demikian memiliki latar belakang peristiwa berhubungan dengan tumbuhan paku atau sejenis pakis. Menurut cerita, pada waktu merintis dusun ini, Tuan Mekedum alias Bucit terjatuh kedalam pusaran air di Lubukbaru. Tempat ini berada di sebelah selatan dusun Jua-Jua. Pada waktu terjatuh itu ia dapat berpegang pada serumpun tumbuhan paku dan lantaran itu ia selamat dari pusaran air. Untuk memperingati peristiwa ini dusun ini dinamakan dengan dusun Paku. Menurut cerita, Bucit menjadikan paku sebagai suatu tumbuhan patangan untuk dimakan.
            Mangun Jaya, berasal dari nama seseorang pimpinan yang merintis di buatnya dusun ini. Namanya adalah si Mangun, sedangkan jaya berarti sukses atau kejayaan. Sida Kersa, diambil dari penggunaan tempat ini pada zaman dahulu sebagai tempat orang penghukuman. Dalam bahasa kayuagung, orang hukuman disebut Dersa. Kata ini selanjutnya di pandang sebagai kata dasar yang setelah melalui penuturan dari masa ke masa menjadi Sida Kersa. Jua-Jua di ambil dari nama ikan Juwa-juwa yaitu semacam ikan ikan seluang. Karena mengikuti penuturan lama kelamaan kata juwa-juwa berubah menjadi Jua-Jua.
            Kayuagung, disebut demikian sebagaimana telah disinggung terdahulu ialah karena ditengah-tengah dusun ini terdapat sebatang kayu yang sangat besar. Sekarang kayu itu sudah tidak ada lagi. Perigi, dinamakan Perigi karena pada waktu mendirikannya didusun ini ada sebuah kolam atau Perigi. Lagi pula nama ini merupakan pindahan dari nama dusun di Pematang Sidahutang. Selanjutnya Kotaraya, dusun ini merupakan pindahan dari dusun yang pada masa sebelum bencana banjir besar, sangat ramai. Sedangkan kedaton disebut demikian karena didirikan di atas daratan yang dahulu bernama Talang kedaton. Sedangkan Celikah dan dusun Muara Burnai memperoleh nama demikian lokasi dusun ini terletak pada muara sungai Burnai anak sungai Lempuing. Demikian pula halnya dengan Tanjung sari yang memperoleh namanya lantaran berada pada Tanjungan sungai. Dusun tanjungsari sangat mudah terlihat dari arah hulu maupun hilir sungai sehingga tempat ini menjadi sangat strategis untuk melakukan berbagai kegiatan sosial-budaya.
            Lubuk Seberuk memperoleh nama demikian karena di tempat itu terdapat suatu lubuk yang banyak berisi ikan seberuk, sedangkan Rantau Durian dahulu merupakan suatu tempat berkebun durian. Sungai Belida mengambil nama sungai yang melintas di dusun itu, sedangkan dusun Secupak dinamakan Secupak karena terletak ditepian sebuah tempat yang bernama Tembaku Secupak.
            Nama Cahaya Bumi berasal dari rasa optimisme masyarakat pada awal tempat itu dibangun menjadi suatu perkampungan. Penduduk ditempat ini berasal dari dusun Belitang Komering Ilir Ulu. Mereka datang kesini maksud dengan mencari penghidupan yang lebih baik, dan merasakan bahwa di dusun ini mereka memang memperoleh perbaikan hidup yang lebih sejahtera. Oleh karenanya mereka menamakan tempat yang baru ini dengan Cahya Bumi yaitu daerah yang memberikan sinar atau harapan.
            Di antara sembilan belas dusun yang disebutkan tadi, hanya dusun kayuagung yang di huni oleh keturunan dari Skala Berak, sedangkan dusun lain oleh keturunan Abung Bungamayang.
            Selanjunya kayuagung pernah memiliki peranan yang sangat penting sebagai “ibu kota)” onder-efdeeling Komering Ilir, disamping Tanjung raja sebagai ibu kota onder-afdeeing Ogan ilir. Dewasa ini, kayuagung merupakan ibu kota Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Diberdayakan oleh Blogger.