Sumsel Pertama Sambut Sekolah Peternakan Rakyat IPB
KAYUAGUNG RADIO - Sumatera Selatan menjadi daerah pertama di Indonesia yang menyambut
pendirian Sekolah Peternak Rakyat (SPR) yang digagas Institut Pertanian
Bogor.
"Setelah gagasan itu kami tawarkan, betul Sumsel adalah
daerah yang mengawali untuk meresponsnya," kata Prof Muladno, penggagas
SPR, di Bogor, Jawa Barat, Senin (1/4/2013).
Guru besar pemuliaan
dan genetika ternak pada Fakultas Peterakan IPB itu
menjelaskan, komitmen pimpinan daerah di Sumsel tercermin dengan
keinginan untuk membangun SPR, yang memang ditujukan bagi ketersediaan
bibit maupun daging sapi di Indonesia dalam jangka panjang.
Menurut
dia, tanggapan positif dari Sumsel itu tidak sekadar komitmen, namun
diwujudkan dalam bentuk nyata yang didukung dengan alokasi anggaran bagi
pembangunan SPR di daerah itu. "Pada tahap awal, yakni pada tahun
pertama Pemprov Sumsel telah mengalokasikan anggaran senilai Rp 2,5
miliar untuk SPR," katanya.
Muladno mengharapkan, pada tahun kedua
dan seterusnya, komitmen itu dapat berkesinambungan sehingga harapan
untuk inisiasi yang pro-peternak dalam masa panjang dapat terwujud.
Pihaknya
juga telah menyarankan bahwa alokasi anggaran pada tahun pertama
tersebut benar-benar diperuntukkan bagi pembangunan fisik SPR. "Dan
bukan untuk penyediaan bibit ternak dahulu. Setelah sarana dan prasarana
SPR terbentuk, barulah sampai pada tahapan bagi pembibitan," katanya.
Pada
bagian lain, ia juga mengemukakan bahwa rantai tata niaga dari peternak
ke konsumen di Indonesia selama ini cukup panjang, sehingga para
pedagang-lah yang menikmati "keringat" peternak, karena memperoleh
keuntungan jauh lebih besar ketimbang keuntungan peternak.
Ia
menegaskan, jika impor daging diperbanyak maka peternak sapi di
Australia untung besar, sedangkan peternak di Indonesia hancur.
"Akibatnya peternak menjadi malas beternak dan bahan pangan tergantung
dari negara lain. Kondisi tersebut berbahaya," katanya.
Ia memberi
perumpamaan perbandingan antara peternak sapi di Indonesia dan peternak
sapi di Australia seperti angkutan kota (angkot) dan pesawat terbang.
"Jika Angkot dan pesawat diadu, sampai kiamat angkot tidak akan pernah
bisa bersaing," katanya.
Dalam konteks seperti itu, kata dia, maka
harus ada keberpihakan pemerintah, seperti terhadap bus Damri melalui
kemudahan berbagai fasilitas. "Intinya, harus ada keberpihakan
pemerintah terhadap peternak berskala kecil di Indonesia," katanya.
Konsep SPR
Menurut
Muladno, konsep dasar dari SPR itu adalah dengan skema menempatkan
"manajer" atau CEO. Ia memberi contoh, jika dalam satu kabupaten ada
1.000 ekor sapi induk, maka ada seorang manajer, yang akan mengelola SPR
dimaksud.
"Dan manajer itu diharapkan bukan dari peternak, namun
kalangan independen dengan kemampuan terkait bidang peternakan," katanya
seraya menambahkan jika dari peternak bisa terjadi konflik kepentingan.
Karena
konsep dasarnya adalah "sekolah", kata dia, maka akan ada struktur
layaknya lembaga pendidikan, karena sifat dari SPR adalah untuk
pembangunan sektor peternakan dalam jangka panjang.
Ditegaskan, keberhasilan
program itu akan mengurangi jumlah "manajer" dari 6,2 juta menjadi
semakin sedikit. "Tetapi jumlah peternak boleh tambah," katanya.
Dikemukakannya
bahwa kondisi usaha peternakan sapi lokal di Tanah Air saat ini
populasi sapi potong lebih kurang 14,8 juta ekor. Sapi itu tersebar di
seluruh Indonesia dengan kepadatan tertinggi di Pulau Jawa, di mana
lebih dari 99 persen dimiliki oleh 6,2 juta peternak berskala kecil,
yakni 1-3 ekor per peternak. Sedangkan kurang dari 1 persen dimiliki
pengusaha besar dengan skala kepemilikan ribuan ekor/pengusaha.
Ia
menyebut, belasan juta populasi sapi potong yang kini selalu
disampaikan pemerintah dalam kondisi tidak diurus dengan baik alias
dalam kondisi liar. Makanya kami gagas gerakan ’menyekolahkan’ sapi-sapi
liar itu melalui gerakan SPR untuk memperbaiki kualitas maupun menambah
kuantitasnya," katanya.
Sumber : kompos.com